1. Cara berfikir
Bagi orang-orang yang mampu, pendidikan
adalah hal yang mudah, karena mereka mempunyai dana untuk sekolah. Tapi
bagaimana dengan rakyat yang tidak mampu? Kesalahannya, mereka berfikir, bahwa
Ilmu dan pendidikan hanya bisa didapatkan dengan sekolah. Padahal tidak, ilmu
bisa didapatkan dengan membaca, bertanya, dan menyimpulkan hasil dari suatu
pengalaman.
2. Kurangnya dukungan
Hampir 80% orang yang tidak mampu dan
tidak mau sekolah karena pesimis. Karena kurang dukungan dari orang tua
3. Kurangnya kesadaran akan pentingnya
ilmu.
ilmu itu bukan sekedar rumus, hafalan Ilmu
itu kunci untuk hidup. Semua itu butuh ilmu. kalau kita tidak tau caranya
makan, kita akan mati. kalau kita tidak tau caranya berjalan. Yang kita
bayangkan, untuk mendapatkan ilmu itu kita harus serius, konsentrasi. Padahal tidak,
kalau kalian bilang begitu, selama ini kalian belajar karena terpaksa. Ilmu itu
didapatkan karena ada kemauan, kemuan adanya rasa ingin tahu. Dan ingat, gagal
atau kalah itu bukan akhir dari segalanya.
4. Karena kuranngnya biaya
Sekarang ini biaya untuk pendidikan itu
tidak murah walaupun pemerintah telah melaksanakan program bebas untuk biaya
sekolah. Tetapi ada saja yang harus kita keluarkan untuk biaya pendidikan.
Solusi dalam menghadapi masalah kurangnya
pendidikan di Indonesia
Pertama, kurikulum pendidikan kita kurang
menekankan pentingnya studi yang dalam dan berkelanjutan mengenai wawasan
nusantara. Hal ini bisa dilihat dari kurangnya jam mata pelajaran/kuliah
mengenai Kewarganegaraan (PPKn). Dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah selama
seminggu, pelajaran/kuliah tersebut hanya mendapat sorotan sekitar 2-2,5 jam.
Hal ini akan berdampak pada kurangnya rasa nasionalisme para siswa/mahasiswa.
Kurangnya rasa kecintaan pada tanah air
tersebut juga akan berdampak lebih jauh lagi pada saat para siswa/mahasiswa
sudah selesai dalam menempuh pendidikan dan sudah waktunya dalam memilih
pekerjaan. Orientasi utama pada saat itu kemungkinan besar hanya berorientasi
pada segi material, yang jelas tidak meguntungkan bagi Indonesia
sendiri dan bukannya berorientasi berbuat dan berkontribusi semampunya untuk Indonesia .
Kedua, kurikulum pendidikan yang kurang
menekankan pentingnya studi yang juga dalam serta berkelanjutan mengenai Agama.
Tak jauh berbeda dengan permasalahan pertama dimana dari waktu penuh jam pelajaran/kuliah
selama seminggu, pelajaran/kuliah mengenai Agama masih sangat kurang. Apalagi
di tingkat Perguruan Tinggi dimana mata kuliah Agama hanya mendapat sorotan
sebesar 2 SKS dari sekitar 140-an SKS.
Padahal pendalaman materi mengenai agama
sangat penting melihat posisi agama merupakan pembentuk terbaik serta utama
bagi kepribadian dan moral seseorang. Jelas orang yang memiliki pengetahuan
agama yang tinggi kehidupannya juga akan diselimuti dengan selimut keagamaan
yang tinggi. Dengan kata lain, pendidikan kita disorot dari segi moral, akidah,
serta akhlak masih sangat kurang.
Ketiga, kurikulum pendidikan/pelaku
pendidikan dari segi pengajaran kita yang kurang mengarahkan para
siswa/mahasiswa untuk nantinya setelah selesai sekolah/kuliah menciptakan sesuatu.
Jadi disini, kurangnya hal tersebut akan membentuk kepribadian konsumtif dari
para siswa/mahasiswa dan bukannya kepribadian yang produktif serta mampu
bersaing di masa yang akan datang.
Hal ini juga sangat penting untuk disoroti
melihat pengaruh globalisasi nantinya yang akan mempengaruhi langsung para
pelaku pendidikan saat ini. Hal ini jelas terasa akibat buruknya, terutama bagi
bangsa ini. Contoh bisa kita ambil, dari berbagai kebijakan yang diambil
pemerintah mengenai pengolahan serta pemenuhan kebutuhan hidup rakyatnya
sehari-hari.
Tapi apa daya, sistem pendidikan yang
tidak mengarah kepada ke-3 usulan tadi, membentuk kepribadian yang konsumtif
bagi para siswa/mahasiswa yang pada akhirnya lebih memilih untuk meng-impor
berbagai kebutuhan mendasar dari luar negeri.
Hal ini merupakan hal yang konyol, dan
Indonesia bisa dikatakan sebagai negeri yang mubadzir, dan juga bukannya tidak
mungkin jika nantinya Tuhan akan mengambil kembali SDA yang kita miliki sebagai
bentuk 'kekesalan' karena kebodohan diri kita sendiri.
Jadi sistem pendidikan yang berdasarkan
pada wawasan kebangsaan dan wawasan keagamaan yang mendalam, serta pengarahan
kepada pelaku pendidikan untuk men-cipta dan bukannya mem-beli dirasa merupakan
sistem pendidikan dasar yang ideal bagi bangsa yang telah rapuh dan berdiri
tidak lagi dengan kaki sendiri ini. Semoga perubahan besar ke arah yang lebih
baik bisa terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar